Konsekuensi Hukum Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat
Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny
Konsekuensi Hukum Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 21 Muharram 1443 H / 30 Agustus 2021 M.
Download kajian sebelumnya: Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Kajian Tentang Konsekuensi Hukum Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat
Perbedaan pendapat dalam masalah kufurnya orang yang meninggalkan shalat atau tidak adalah masalah ijtihadiyah. Kita harus toleran dalam masalah-masalah yang seperti ini. Karena khilaf atau perbedaan pendapat ini sudah ada sejak zaman para imam. Makanya jangan sampai kita menuduh orang yang berpendapat bahwa meninggalkan shalat itu tidak menjadikan seseorang kufur sebagai orang yang Murji’ah. Kalau itu adalah tolak ukur Murji’ah atau tidak, maka kita akan me-murji’ah-kan imam-imam dizaman dahulu yang berpendapat demikian. Ini adalah konsekuensi yang berat.
Kenyataan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang keislaman orang yang meninggalkan shalat ini menunjukkan betapa besarnya dosa meninggalkan shalat. Makanya di pertemuan yang sebelumnya kita sudah menukil perkataan dari Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala yang menyatakan bahwa para ulama ijma’ bahwa dosa meninggalkan shalat itu lebih parah daripada dosa berzina. Tentu ini bukan untuk meremehkan perzinahannya, tapi untuk menjelaskan betapa besarnya dosa meninggalkan shalat.
Konsekuensi Hukum
Konsekuensi dari hukum bahwa orang yang meninggalkan shalat diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan keluar dari keislamannya, ada yang mengatakan dia orang yang masih Islam tapi fasik.
Bagi para ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak sampai pada derajat kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya, mereka berbeda pendapat tentang konsekuensinya. Bagi seorang imam atau penguasa apakah boleh membunuhnya ataukah tidak?
Ada yang mengatakan boleh dibunuh yang ini masuk dalam kategori had, yaitu hukuman-hukuman yang sudah ditentukan dalilnya secara khusus. Seperti misalnya potong tangan untuk orang yang mencuri, membunuh hukumannya adalah dibunuh, orang yang berzina dihukum cambuk atau dirajam, menuduh wanita yang mulia, meminum khamr, ini semua ada hukuman khusus.
Begitu pula orang yang meninggalkan shalat. Menurut sebagian ulama yang mengatakan bahwa dia itu fasik, maka seorang imam/penguasa boleh menghukum dengan hukuman dibunuh, yaitu dipenggal kepalanya karena harus ditegakkan hukum hudud kepadanya.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sebelum hukuman ini -ada yang mengatakan- dia harus diminta untuk bertaubat dahulu. Kalau mau bertaubat, maka dibebaskan dari pembunuhan. Kalau tidak mau bertaubat, masih terus meninggalkan shalatnya, maka dibunuh saat itu juga. Ada yang mengatakan tidak demikian, tapi harus diminta untuk bertaubat dan diberi waktu sampai 3 hari. Kalau sampai tiga hari tidak mau bertaubat dan shalat, baru ketika itu dibunuh.
Ada sebagian ulama juga bahwa orang ini diberi ancaman. Kalau mau shalat, maka dimaafkan. Tapi kalau tidak mau shalat, maka hukumannya dibunuh untuk menegakkan hudud. Dan yang boleh melakukan seperti ini hanya seorang imam atau penguasa atau wakil dari mereka. Adapun orang-orang biasa tidak boleh seperti ini.
Orang-orang biasa yang tidak punya kapasitas untuk melakukan yang seperti ini, maka mereka boleh memberikan nasihat, memberikan masukan, melaporkan kepada penguasa. Adapun mereka yang punya tampuk kekuasaan, maka mereka punya hak, kapasitas bahkan kewajiban untuk mengingkari kemungkaran seperti ini.
Di antara ulama-ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat itu tidak sampai menjatuhkan seseorang ke dalam kekufuran, tapi dia dihukumi fasik, mereka ada yang mengatakan tidak boleh dibunuh sama sekali. Hal ini karena dia bukan orang yang kafir, bagaimana dia dibunuh? Yang dibolehkan adalah hukuman-hukuman yang menjadikan dia jera, tapi tidak boleh dibunuh. Hukumannya terserah sesuai dengan pandangan seorang imam atau penguasa. Dia boleh dita’zir, tapi tidak boleh ditegakkan hudud atasnya. Karena untuk hudud harus berdasarkan dalil yang jelas, sedangkan di sini (menurut mereka) tidak ada dalil yang jelas bahwa orang seperti telah keluar dari keislaman.
Hukum ta’zir yaitu hukuman yang ketentuannya diserahkan kepada pemimpin. Dia dita’zir sampai bertaubat. Kalau tidak mau bertaubat maka sampai akhirnya Allah mewafatkan dia.
Menit ke-21:48 Bagi mereka yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat sampai pada derajat kekufuran, maka semua hukum untuk orang-orang yang murtadz berlaku padanya. Hal ini karena dia kafir (keluar dari Islam).
Hukum yang berlaku pada orang yang murtad sangat banyak. Maka ini menunjukkan masalah takfir (memvonis seseorang kafir) adalah masalah yang berat. Lebih baik kita salah dan menganggap dia masih muslim daripada kita salah menganggap dia kafir. Konsekuensi vonis kafir sangat besar, di antaranya:
- Gugurnya hak perwalian dia terhadap seorang muslim. Sehingga dia tidak boleh menjadi wali putrinya
- Tidak boleh menjadi wali bagi anak-anaknya yang masih kecil
- Tidak bisa mendapatkan hak waris
- Tidak bisa mewariskan hartanya kepada anak-anaknya yang beragama Islam
- Diharamkan masuk ke kota suci Mekkah
- Sembelihannya dianggap sebagai bangkai yang haram untuk dimakan
- Tidak boleh dishalatkan
- Tidak boleh didoakan dengan doa rahmat setelah dia mati bahkan ketika dia masih hidup. Yang boleh hanya semoga dia mendapatkan hidayah
- Laki-laki kafir tidak boleh menikahi seorang muslimah
- Wanita kafir tidak boleh menikah dengan seorang muslim. Hal ini karena dia bukan ahlul kitab dan bukan seorang muslimah
- Kalau dia sedang dalam tali pernikahan, maka harus dipisahkan
Kepada Siapa Shalat Diwajibkan?
Simak pada menit ke-27:22
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/50617-konsekuensi-hukum-bagi-orang-yang-meninggalkan-shalat/